1. Mempengaruhi Perilaku
a. Definisi Pengaruh
WIRYANTO: Pengaruh merupakan tokoh formal mauoun
informal di dalam masyarakat, mempunyai ciri lebih kosmopolitan, inovatif,
kompeten, dan aksesibel dibanding pihak yang dipengaruhi.
M. SUYANTO (AMIKOM YOGYAKARTA): Pengaruh merupakan
nilai kualitas suatu iklan melalui media tertentu.
UWE BECKER: Pengaruh adalah kemampuan yang terus
berkembang yang berbeda dengan kekuasaan, tidak begitu terkait dengan usaha
memperjuangkan dan memaksakan kepentingan.
(Involed is formatif vermogen dat – in tegens telling tot macht – niet direct verbonden is met strijd en de doorzetting van belangen).
(Involed is formatif vermogen dat – in tegens telling tot macht – niet direct verbonden is met strijd en de doorzetting van belangen).
NORMAN BARRY: Pengaruh adalah suatu tipe kekuasaan
yang jika seorang yang dipengaruhi agar bertindak dengan cara tertentu, dapat
dikatakan terdorong untuk bertindak demikian, sekalipun ancaman sanksi yang
terbuka tidak merupakan motivasi yang mendorongnya.
(Influence is a type of power in that a person who is influenced to act in a certain way may be said to be caused so to act, even though an overt threat of santions will not be the motivating force).
(Influence is a type of power in that a person who is influenced to act in a certain way may be said to be caused so to act, even though an overt threat of santions will not be the motivating force).
ROBERT DAHL: A mempunyai pengaruh atas B sejauh ia
dapat menyebabkan B untuk berbuat sesuatu yang sebenarnya tidak akan B lakukan.
SOSIOLOGI PEDESAAN: Pengaruh merupakan kekuasaan yang
mengakibatkan perubahan perilaku orang lain atau kelompok lain.
BERTRAM JOHANNES OTTO SCHRIEKE: Pengaruh merupakan
bentuk dari kekuasaan yang tidak dapat diukur kepastiannya.
ALBERT R. ROBERTS & GILBERT: Pengaruh adalah wajah
kekuasaan yang diperoleh oleh orang ketika mereka tidak memiliki kewenangan
untuk mengambil keputusan.
JOHN MILLER: Pengaruh merupakan komoditi berharga
dalam dunia politik Indonesia.
b. Kunci-Kunci Perubahan Perilaku
Perubahan merupakan peralihan kondisi yang tadinya buruk, menjadi baik.
Masyarakat yang berubah adalah masyarakat yang terdiri dari individu
berkepribadian (personality) baik. Personality tidak dibentuk dari performance
dan style seseorang, melainkan dari adanya daya intelektual dan perbuatan.
Selanjutnya, tidak hanya membentuk saja, tapi juga disertai upaya menjadikan
personality tersebut berkualitas.
Oleh karena itu
kunci perubahan masyarakat adalah membentuk daya intelektual dan perbuatan yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sehingga terjadilah perubahan
perilaku yang secara otomatis diikuti dengan perubahan masyarakat.Perilaku yang akan menjadi kunci perubahan di masyarakat adalah sikap yang
mampu melalui berbagai benturan dengan gemilang, adanya kepercayaan diri tanpa
batas, dan tekad untuk terus berjuang hingga titik nadi. Perubahan masyarakat
akan berimplikasi terhadap perubahan individu, karena di dalamnya ada interaksi
sebagai kontrol sosial yang dapat mendidik manusia.
c. Mempengaruhi Orang Lain
Ø Logical Argument (Logos)
Pendekatan berdasarkan logical argument merupakan
penyampaian ajakan menggunakan argumentasi sebuah data-data yang ditemukan. Hal
ini telah disinggung oleh komponen data.
Ø
Psychological Atau
Emotional Argument (Pathos)
Pendekatan berdasarkan Psychological Atau Emotional
Argument merupakan penyampaian pendekatan ajakan menggunakan efek emosi positif
dan negatif. Misalnya saja dalam iklan yang menyenangkan, lucu dan maupun yang
membuat kita berempati itu termasuk dalam menggunakan pendekatan Psychological Argument
yang bersifat positif. Sedangkan iklan yang biasanya membuat kita muak,
marah, menjenuhkan, itu termasuk pendekatan
Psychological Argument dengan efek emosi yang negatif.
Ø Argument Based On Credibility (Ethos)
Teknik pendekatan seperti ini biasanya merupakan ajakan
atau arahan yang akan diikuti oleh komunikate atau audiens, karena komukiator
mempunyai kredibilitas sebagai pakar dalam bidang tersebut. Seperti
contoh saat kita berobat dan menuruti medis dari dokter, menuruti kemauan seorang
pesulap, atau mematuhi perintah dari dosen untuk menyelesaikan tugas-tugas
kuliah. Mengapa demikian karena hal ini semata-mata karena anda mempercayai
kepakaran seseorang dala bidangnya.
2. Kekuasaan
a. Definisi
Kekuasaan
Kekuasaan adalah perilaku
seorang individu ketika ia mengarahkan aktivitas sebuah kelompok menuju suatu
tujuan bersama.
b. Teori kekuasaan menurut French & Raven
Adapun sumber kekuasaan menurut French & Raven ada 5 kategori yaitu:
Adapun sumber kekuasaan menurut French & Raven ada 5 kategori yaitu:
1). Kekuasaan Paksaan (Coercive Power)
=> Kekuasaan imbalan seringkali dilawankan dengan kekuasaan paksaan, yaitu
kekuasaan untuk menghukum. Hukuman adalah segala konsekuensi tindakan yang
dirasakan tidak menyenangkan bagi orang yang menerimanya. Pemberian hukuman kepada
seseorang dimaksudkan juga untuk memodifikasi perilaku, menghukum perilaku yang
tidak baik/merugikan organisasi dengan maksud agar berubah menjadi perilaku
yang bermanfaat. Para manajer menggunakan kekuasaan jenis ini agar para
pengikutnya patuh pada perintah karena takut pada konsekuensi tidak
menyenangkan yang mungkin akan diterimanya. Jenis hukuman dapat berupa
pembatalan pemberikan konsekwensi tindakan yang menyenangkan; misalnya
pembatalan promosi, pembatalan bonus; maupun pelaksanaan hukuman seperti skors,
PHK, potong gaji, teguran di muka umum, dan sebagainya. Meskipun hukuman
mungkin mengakibatkan dampak sampingan yang tidak diharapkan, misalnya perasaan
dendam, tetapi hukuman adalah bentuk kekuasaan paksaan yang masih digunakan
untuk memperoleh kepatuhan atau memperbaiki prestasi yang tidak produktif dalam
organisasi.
=> kemampuan seseorang untuk memberikan imbalan kepada orang lain
(pengikutnya) karena kepatuhan mereka. Kekuasaan imbalan digunakan untuk mendukung
kekuasaan legitimasi. Jika seseorang memandang bahwa imbalan, baik imbalan
ekstrinsik maupun imbalan intrinsik, yang ditawarkan seseorang atau organisasi
yang mungkin sekali akan diterimanya, mereka akan tanggap terhadap perintah.
Penggunaan kekuasaan imbalan ini amat erat sekali kaitannya dengan teknik
memodifikasi perilaku dengan menggunakan imbalan sebagai faktor pengaruh.
=> kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain karena posisinya.
Seorang yang tingkatannya lebih tinggi memiliki kekuasaan atas pihak yang
berkedudukan lebih rendah. Dalam teori, orang yang mempunyai kedudukan
sederajat dalam organisasi, misalnya sesama manajer, mempunyai kekuasaan
legitimasi yang sederajat pula. Kesuksesan penggunaan kekuasaan legitimasi ini
sangat dipengaruhi oleh bakat seseorang mengembangkan seni aplikasi kekuasaan
tersebut. Kekuasaan legitimasi sangat serupa dengan wewenang. Selain seni
pemegang kekuasaan, para bawahan memainkan peranan penting dalam pelaksanaan
penggunaan legitimasi. Jika bawahan memandang penggunaan kekuasaan tersebut
sah, artinya sesuai dengan hak-hak yang melekat, mereka akan patuh. Tetapi jika
dipandang penggunaan kekuasaan tersebut tldak sah, mereka mungkin sekali akan
membangkang. Batas-batas kekuasaan ini akan sangat tergantung pada budaya,
kebiasaan dan sistem nilai yang berlaku dalam organisasi yang bersangkutan.
4). Kekuasaan Pakar (Expert Power)
=> Seseorang mempunyai kekuasaan ahli jika ia memiliki keahlian khusus yang
dinilai tinggi. Seseorang yang memiliki keahlian teknis, administratif, atau
keahlian yang lain dinilai mempunyai kekuasaan, walaupun kedudukan mereka
rendah. Semakin sulit mencari pengganti orang yang bersangkutan, semakin besar
kekuasaan yang dimiliki. Kekuasaan ini adalah suatu karakteristik pribadi,
sedangkan kekuasaan legitimasi, imbalan, dan paksaan sebagian besar ditentukan
oleh organisasi, karena posisi yang didudukinya.
Contohnya ; Pasien – pasien dirumah sakit menganggap dokter sebagai pemimpin
atau panutan karena dokterlah uang dianggap paling ahli untuk menyembuhkan
penyakit
5). Kekuasaan Rujukan (Referent Power)
=> Banyak individu yang menyatukan diri dengan atau dipengaruhi oleh
seseorang karena gaya kepribadian atau perilaku orang yang bersangkutan. Karisma
orang yang bersangkutan adalah basis kekuasaan panutan. Seseorang yang
berkarisma ; misalnya seorang manajer ahli, penyanyi, politikus, olahragawan;
dikagumi karena karakteristiknya. Pemimpin karismatik bukan hanya percaya pada
keyakinan – keyakinannya sendiri (factor atribusi), melainkan juga merasa bahwa
ia mempunyai tujuan-tujuan luhur abadi yang supernatural (lebih jauh dari alam
nyata). Para pengikutnya, di sisi lain, tidak hanya percaya dan menghargai sang
pemimpin, tetapi juga mengidolakan dan memujanya sebagai manusia atau pahlawan
yang berkekuatan gaib atau tokoh spiritual (factor konsekuensi). Jadi, pemimpin
kharismatik berfungsi sebagai katalisator dari psikodinamika yang terjadi dalam
diri para pengikutnya seperti dalam proses proyeksi, represi, dan regresi yang
pada gilirannya semakin dikuatkan dalam proses kebersamaan dalam kelompok.
Dalam masa puncaknya, Bung Karno misalnya; diberi gelar paduka yang mulia,
Panglima Besar ABRI, Presiden seumur hidup, petani agung, pramuka agung, dan
berbagai gelar yang lainnya.
• Kekuasaan Imbalan => target taat agar ia mendapat ganjaran / imbalan yang
diyakini dikuasai atau dikendalikan oleh agent.
• Kekuasaan Paksaan => target taat agar ia terhindar dari hukuman yang
diyakini dan diatur oleh agent.
• Kekuasaan Sah => target taat karena ia yakin bahwa agent mempunyai hak
untuk membuat ketentuan atau peraturan dan bahwa target mempunyai kewajiban
untuk taat.
• Kekuasaan Pakar => target taat karena ia yakin atau percaya bahwa agent
mempunyai pengetahuan khusus tentang cara yang terbaik untuk melakukan sesuatu.
• Kekuasaan Rujukan => target taat karena ia memuja agent atau
mengidentifikasi dirinya dengan agent dan mengharapkan persetujuan agent.
3. Teori-teori Leadership
a. Definisi Leadership (kepemimpinan)
Sarros dan Butchatsky
(1996), "leadership
is defined as the purposeful behaviour of influencing others to contribute to a
commonly agreed goal for the benefit of individual as well as the organization
or common good". Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat
didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi
aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang
untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Sedangkan menurut Anderson
(1988), "leadership means using power to influence the
thoughts and actions of others in such a way that achieve high
performance".
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi. Antara lain:
Pertama: kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.
Kedua: seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Menurut French dan Raven (1968), kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin dapat bersumber dari:
1. Reward power, yang didasarkan atas persepsi bawahan
bahwa pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan
kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahan pemimpinnya.
2. Coercive power, yang didasarkan atas persepsi bawahan
bahwa pemimpin mempunyai kemampuan memberikan hukuman bagi bawahan yang tidak
mengikuti arahan-arahan pemimpinnya.
3. Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi bawahan
bahwa pemimpin mempunyai hak untuk menggunakan pengaruh dan otoritas yang
dimilikinya.
4. Referent power, yang didasarkan atas identifikasi
(pengenalan) bawahan terhadap sosok pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan
pengaruhnya karena karakteristik pribadinya, reputasinya atau karismanya.
5. Expert power, yang didasarkan atas persepsi bawahan
bahwa pemimpin adalah seeorang yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlian
dalam bidangnya.
Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau
kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai
situasi.
Ketiga: kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi. Walaupun kepemimpinan (leadership) seringkali disamakan dengan manajemen (management), kedua konsep tersebut berbeda.
Perbedaan antara pemimpin dan manajer dinyatakan secara jelas oleh Bennis and Nanus (1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat ("managers are people who do things right and leaders are people who do the right thing, "). Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin.
A.
Teori X dan Y dari Mc Douglas
1.
Teori X
Teori
X menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk pemalas yang tidak suka
bekerja serta senang menghindar dari pekerjaan dan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya. Individu yang berperilaku teori X mempunyai sifat : tak
suka dan berusaha menghindari kerja, tak punya ambisi, tak suka tanggung jawab,
tak suka memimpin, suka jadi pengikut, memikirkan diri tak memikirkan tujuan
organisasi, tak suka perubahan, sering kurang cerdas.
Contoh
individu dengan teori X : pekerja bangunan.
-
Keuntungan Teori X :
Karyawan
bekerja untuk memaksimalkan kebutuhan pribadi.
-
Kelemahan Teori X :
a.
Karyawan malas,
b.
Berperasaan irrasional,
c.
Tidak mampu mengendalikan diri dan disiplin.
2.
Teori Y
Teori
Y memiliki anggapan bahwa kerja adalah kodrat manusia seperti halnya kegiatan
sehari-hari lainnya. Individu yang berperilaku teori Y mempunyai sifat : suka
bekerja, commit pada pekerjaan, suka mengambil tanggung jawab, suka memimpin,
biasanya orang pintar.
Contoh
orang dengan teori Y : manajer yang berorientasi pada kinerja.
-
Keuntungan teori Y :
a.
Pekerja menunjukkan kemampuan pengaturan diri,
b.
Tanggung jawab,
c.
Inisiatif tinggi,
d.
Pekerja akan lebih memotivasi diri dari kebutuhan pekerjaan.
-
Kelemahan Teori Y :
Apresiasi
diri akan terhambat berkembang karena karyawan tidak selalu menuntut kepada
perusahaan
B.
TEORI SISTEM 4 RENSIS LIKERT
Gaya kepemimpian yaitu sikap dan tindakan yang dilakukan pemimpin dalam
menghadapi bawahan. Ada dua macam gaya kepemimpinan yaitu gaya kepemimpinan
yang berorientasi pada tugas dan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada
karyawan. Dalam gaya yang ber orientasi pada tugas ditandai oleh beberapa hal
sebagai berikut:
• Pemimpin memberikan petunjuk kepada bawahan.
• Pemimpin selalu mengadakan pengawasan secara ketat terhadap bawahan.
• Pemimpin meyakinkan kepada bawahan bahwa tugas-tugas harus dilaksanakan sesuai
dengan keinginannya.
• Pemimpin lebih menekankan kepada pelaksanaan tugas daripada pembinaan dan
pengembangan bawahan.
Sedangkan gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada karyawan atau bawahan
ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut:
• Pemimpin lebih memberikan motivasi daripada memberikan pengawasan kepada
bawahan.
• Pemimpin melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan.
• Pemimpin lebih bersifat kekeluargaan, saling percaya dan kerja sama, saling
menghormati di antara sesama anggota kelompok.
Sebagai pengembangan, maka para ahli berusaha dapat menentukan mana di antara
kedua gaya kepemimpinan itu yang paling efektif untuk kepentingan organisasi
atau
perusahaan. Salah satu pendekatan yang dikenal dalam menjalankan gaya
kepemimpinan
adalah ada empat sistem manajemen yang dikembangkan oleh Rensis Likert. Empat
system tersebut terdiri dari:
Sistem
1, otoritatif dan eksploitif: manajer membuat semua keputusan yang berhubungan
dengan kerja dan memerintah para bawahan untuk melaksanakannya. Standar dan
metode pelaksanaan juga secara kaku ditetapkan oleh manajer. Manajemen
menggunakan rasa takut dan ancaman; komunikasi atas ke bawah dengan kebanyakan
keputusan diambil di atas; atasan dan bawahan memiliki jarak yang jauh;
Sistem
2, otoritatif dan benevolent: manajer tetap menentukan perintah-perintah,
tetapi memberi bawahan kebebasan untuk memberikan komentar terhadap
perintah-perintah tersebut. berbagai fleksibilitas untuk melaksanakan
tugas-tugas mereka dalam batas-batas dan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan.
Manajemen menggunakan penghargaan;, informasi mengalir ke atas dibatasi untuk
manajemen apa yang ingin didengar dan keputusan kebijakan sementara datang dari
atas beberapa keputusan yang ditetapkan dapat dilimpahkan ke tingkat yang lebih
rendah, atasan mengharapkan kepatuhan bawahan
Sistem
3, konsultatif: manajer menetapkan tujuan-tujuan dan memberikan
perintah-perintah setelah hal-hal itu didiskusikan dahulu dengan bawahan.
Bawahan dapat membuat keputusan – keputusan mereka sendiri tentang cara
pelaksanaan tugas. Penghargaan lebih digunakan untuk memotivasi bawahan
daripada ancaman hukuman. Manajemen menawarkan hadiah, kadang-kadang hukuman;
keputusan besar datang dari atas sementara ada beberapa yang lebih luas
keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan komunikasi rincian ke bawah ke
atas sementara komunikasi penting hati-hati.
Sistem
4, partisipatif: adalah sistem yang paling ideal menurut Likert tentang cara
bagaimana organisasi seharusnya berjalan. Tujuan-tujuan ditetapkan dan
keputusan-keputusan kerja dibuat oleh kelompok. Bila manajer secara formal yang
membuat keputusan, mereka melakukan setelah mempertimbangkan saran dan pendapat
dari para anggota kelompok. Untuk memotivasi bawahan, manajer tidak hanya
mempergunakan penghargaan-penghargaan ekonomis tetapi juga mencoba memberikan
kepada bawahan perasaan yang dibutuhkan dan penting. Manajemen kelompok
mendorong partisipasi dan keterlibatan dalam menetapkan tujuan kinerja yang
tinggi dengan beberapa penghargaan ekonomi; komunikasi mengalir ke segala arah
dan terbuka dan jujur dengan pengambilan keputusan melalui proses kelompok
dengan masing-masing kelompok terkait dengan orang lain dengan orang-orang yang
menjadi anggota lebih dari satu kelompok yang disebut menghubungkan pin; dan
bawahan dan atasan dekat. Hasilnya adalah produktivitas yang tinggi dan lebih
baik hubungan industrial.
Seorang manajer dan supervisor harus selalu menyesuaikan perilaku
memperhitungkan karyawan aktual, mengadaptasi prinsip-prinsip umum untuk
harapan-harapan, nilai-nilai dan keterampilan yang mereka miliki. Organisasi
harus menghasilkan kondisi yang mendorong setiap manajer untuk menangani
sensitif dengan mereka. Meskipun dimungkinkan untuk memiliki pekerjaan yang
terpusat, manajemen tangguh, yang dapat mencapai produktivitas yang tinggi
melalui sistem kontrol masih akan ada yang tidak menguntungkan mereka dan kami
sikap antara karyawan terhadap pekerjaan dan manajemen, dengan pergantian buruh
yang lebih tinggi dan lebih besar pekerja dan manajemen konflik. Suatu organisasi
harus memiliki kesatuan integratif di mana hal-hal apa yang terjadi pada
individu dan apa yang penting bagi organisasi adalah sebagai satu.
Rensis Likert memperluas studi kepemimpinan Michigan dengan penelitian ke dalam
apa yang membedakan manajer yang efektif dari manajer tidak efektif. Di New
Patterns of Management (1961) ia menulis bahwa "atasan dengan catatan
terbaik, kinerja utama mereka fokus perhatian pada aspek manusia bawahan mereka
'masalah dan berusaha untuk membangun kelompok kerja yang efektif dengan tujuan
kinerja tinggi. "Likert mendefinisikan dua gaya manajer.
1. Pekerjaan berpusat pada manajer, ditemukan untuk menjadi yang paling
produktif
2. Karyawan berpusat manajer, ditemukan untuk menjadi yang paling efektif.
Likert juga menemukan bahwa manajer yang efektif menetapkan tujuan-tujuan
spesifik, tetapi memberikan kebebasan karyawan dalam cara mereka mencapai
tujuan tersebut. Hal ini telah disebut pengawasan umum, sebagai lawan dari
pengawasan yang ketat. Dalam jargon bisnis modern ini disebut pemberdayaan.
Organisasi dan Karakteristik Kinerja Sistem Manajemen Berbeda
System
1 tidak percaya takut, ancaman, dan hukuman sedikit interaksi, selalu ada
ketidakpercayaa
System
2 master / hamba imbalan dan hukuman sedikit interaksi, selalu berhati-hati
System
3 substansial tapi tidak lengkap kepercayaannya penghargaan, hukuman, beberapa
keterlibatan moderat interaksi, beberapa kepercayaan
Sistem
4 kepercayaan penuh tujuan yang didasarkan pada partisipasi dan perbaikan luas
interaksi. Friendly, kepercayaan yang tinggi.
C.TEORI
KONTINUM – TANNENBAUM DAN SCHMIDT
Model Kepemimpinan Kontinum (Otokratis-Demokratis). Tannenbaun dan Schmidt
dalam Hersey dan Blanchard (1994) berpendapat bahwa pemimpin mempengaruhi
pengikutnya melalui beberapa cara, yaitu dari cara yang menonjolkan sisi
ekstrim yang disebut dengan perilaku otokratis sampai dengan cara yang
menonjolkan sisi ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku demokratis.
Perilaku otokratis, pada umumnya dinilai bersifat negatif, di mana sumber kuasa
atau wewenang berasal dari adanya pengaruh pimpinan. Jadi otoritas berada di
tangan pemimpin, karena pemusatan kekuatan dan pengambilan keputusan ada pada
dirinya serta memegang tanggung jawab penuh, sedangkan bawahannya dipengaruhi
melalui ancaman dan hukuman. Selain bersifat negatif, gaya kepemimpinan ini
mempunyai manfaat antara lain, pengambilan keputusan cepat, dapat memberikan
kepuasan pada pimpinan serta memberikan rasa aman dan keteraturan bagi bawahan.
Selain itu, orientasi utama dari perilaku otokratis ini adalah pada tugas.
Perilaku demokratis; perilaku kepemimpinan ini memperoleh sumber kuasa atau
wewenang yang berawal dari bawahan. Hal ini terjadi jika bawahan dimotivasi
dengan tepat dan pimpinan dalam melaksanakan kepemimpinannya berusaha
mengutamakan kerjasama dan team work untuk mencapai tujuan, di mana si pemimpin
senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritik dari bawahannya. Kebijakan di
sini terbuka bagi diskusi dan keputusan kelompok.
Namun, kenyataannya perilaku kepemimpinan ini tidak mengacu pada dua model
perilaku kepemimpinan yang ekstrim di atas, melainkan memiliki kecenderungan
yang terdapat di antara dua sisi ekstrim tersebut. Tannenbaun dan Schmidt dalam
Hersey dan Blanchard (1994) mengelompokkannya menjadi tujuh kecenderungan
perilaku kepemimpinan. Ketujuh perilaku inipun tidak mutlak melainkan akan
memiliki kecenderungan perilaku kepemimpinan mengikuti suatu garis kontinum
dari sisi otokratis yang berorientasi pada tugas sampai dengan sisi demokratis
yang berorientasi pada hubungan.
Ada tujuh butir perilaku bahwa para manager:
1. Membuat keputusan dan mengumumkannya
2. Membuat keputusan dan menawarkannya
3. Mengemukakan keputusannya dan memberi kesempatan untuk mempertanyakannya
4. Manager mengemukakan keputusan sementarayang masih dapat diubah
5. Menentukan beberapa batasan dan meminta bawahan untuk membuat keputusan
6. Mengizinkan bawahan membuat keputusan
c.Normatif Teori Vroom & Yetton
Model normative
tentang kepemimpinan. Gaya kepemimpinan yang tepat ditentukan oleh corak
persoalan yang dihadapi oleh macam keputusan yang harus diambil.
Model
mereka dinamakan normative, karena mengarah ke pemberian suatu rekomendasi
tentang gaya kepemimpinan yg sebaiknya digunakan dalam situasi tertentu. Pada
hakikatnya, model ini dapat digunakan sebagai alat untuk :
a.
Membantu mengenali berbagai jenis situasi pemecahan persoalan secara
berkelompok (group problem solving situations)
b.
Menyarankan gaya-gaya kepemimpinan mana yang dianggap layak untuk setiap
situasi. Ada tiga perangkat parameter yg penting yaitu : klasifikasi gaya
kepemimpinan, criteria efektivitas kepemimpinan, criteria permukenalan jenis
situasi pemecahan persoalan.
Asumsi
Penerimaan
keputusan meningkatkan efektivitas komitmen dan tindakan.
Partisipasi
keputusan meningkatkan penerimaan.
Deskripsi
Kualitas
keputusan pemilihan alternatif terbaik, dan adalah sangat penting apabila ada
banyak alternatif. Hal ini juga penting ketika ada implikasi serius untuk
memilih (atau gagal untuk memilih) alternatif yang terbaik.
Keputusan
penerimaan adalah sejauh mana seorang pengikut menerima keputusan yang dibuat
oleh seorang pemimpin. Pemimpin lebih berfokus pada keputusan penerimaan ketika
kualitas keputusan lebih penting.
Vroom
dan Yetton ditetapkan lima prosedur keputusan yang berbeda. Dua adalah otokratis
(A1 dan A2), sedangkan dua konsultatif (C1 dan C2) dan satu adalah Group yang
berbasis (G2).
A1:
Pemimpin mengambil informasi dikenal dan kemudian memutuskan sendirian.
A2:
Pemimpin memperoleh informasi dari pengikutnya, dan kemudian memutuskan sendirian.
C1:
Pemimpin masalah dengan pengikut saham secara individual, mendengarkan ide-ide
dan kemudian memutuskan sendirian.
C2:
Pemimpin masalah saham dengan pengikutnya sebagai kelompok, mendengarkan
ide-ide dan kemudian memutuskan sendirian.
G2:
Pemimpin masalah saham dengan pengikut sebagai kelompok dan kemudian mencari
dan menerima persetujuan konsensus.
Situasional
faktor-faktor yang mempengaruhi metode relatif logis:
•
Ketika kualitas keputusan penting dan pengikut memiliki informasi yang berguna,
kemudian A1 dan A2 bukanlah metode terbaik.
•
Ketika pemimpin melihat kualitas keputusan penting tapi pengikut tidak, maka G2
adalah tidak pantas.
•
Ketika kualitas keputusan penting, setelah masalah ini tidak terstruktur dan
pemimpin tidak memiliki informasi / keterampilan untuk membuat keputusan
sendiri, maka G2 adalah yang terbaik.
•
Ketika keputusan penerimaan adalah penting dan pengikut tidak mungkin untuk
menerima keputusan otokratis, kemudian A1 dan A2 tidak sesuai.
•
saat keputusan penerimaan adalah penting namun pengikut cenderung tidak setuju
dengan satu sama lain, kemudian A1, A2 dan C1 yang tidak sesuai, karena mereka
tidak memberikan peluang bagi perbedaan untuk diselesaikan.
•
Ketika kualitas keputusan tidak penting, tetapi keputusan penerimaan adalah
penting, maka G2 adalah metode terbaik.
•
Ketika kualitas keputusan penting, semua setuju dengan ini, dan keputusan ini
tidak mungkin hasil dari keputusan yang otokratis kemudian G2 adalah yang
terbaik.
d. TEORI KEPEMIMPINAN
KONTINGENSI FIEDLER
Model kontongensi dari kepemimpinan yg efektif dikembangkan oleh fiedler(1967). Menurut model ini, maka “the performance of the group is contingent upon both the motivational system of the leader and the degree to which the leader has control and influence in a particular situation, the situational favorableness “ (fiedler,1974). Dg kata lain, tinggi rendahnya prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh system motivasi dari pemimpin dan sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi tertentu.
Least pilihan rekan kerja (LPC)
Gaya kepemimpinan pemimpin, dengan demikian, tetap dan diukur dengan apa yang dia sebut paling disukai rekan kerja (LPC) skala, sebuah alat untuk mengukur kepemimpinan individu orientasi. Skala LPC meminta para pemimpin untuk memikirkan semua orang dengan siapa mereka yang pernah bekerja dan kemudian menggambarkan orang dengan siapa mereka telah bekerja paling baik, dengan menggunakan serangkaian bipolar skala 1 sampai 8, seperti berikut:
Ramah 1 2 3 4 5 6 7 8 Ramah
Kooperatif 1 2 3 4 5 6 7 8 Koperasi
Bermusuhan 1 2 3 4 5 6 7 8 Mendukung
.... 1 2 3 4 5 6 7 8 ....
Dijaga 1 2 3 4 5 6 7 8 Membuka
Tanggapan-tanggapan terhadap skala tersebut (biasanya 18-25 total) yang disimpulkan dan rata-rata: skor LPC tinggi menunjukkan bahwa pemimpin memiliki orientasi hubungan antar manusia, sedangkan skor LPC rendah menunjukkan orientasi tugas. Fiedler mengasumsikan bahwa setiap orang yang paling tidak disukai rekan kerja di Kenyataannya adalah rata-rata sekitar sama-sama tidak menyenangkan. Tetapi orang-orang yang memang hubungan termotivasi, cenderung untuk menggambarkan paling tidak disukai rekan kerja mereka dalam cara yang lebih positif, misalnya, lebih menyenangkan dan lebih efisien. Oleh karena itu, mereka menerima nilai LPC tinggi. Tugas orang-orang yang termotivasi, di sisi lain, cenderung untuk menilai paling tidak disukai rekan kerja mereka dalam cara yang lebih negatif. Oleh karena itu, mereka menerima skor LPC rendah. Jadi, rekan kerja yang dipilih yang terkecil (LPC) skala ini sebenarnya tidak tentang pekerja pilihan yang paling tidak sama sekali, sebaliknya, ini adalah tentang orang yang mengambil tes; ini adalah tentang motivasi orang itu tipe. Ini sangat, karena, orang yang paling tidak disukai menilai rekan kerja mereka dalam cahaya yang relatif baik pada skala ini memperoleh kepuasan atas hubungan interpersonal, dan mereka yang menilai rekan kerja dalam waktu yang relatif ringan tidak menguntungkan memperoleh kepuasan keluar dari tugas sukses kinerja. Metode ini mengungkapkan suatu reaksi emosional individu kepada orang-orang mereka tidak dapat bekerja dengan. Pengkritik menunjukkan bahwa hal ini tidak selalu akurat pengukuran efektivitas kepemimpinan.
situasi yang menguntungkan (situational favorableness), yaitu sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi situasi tertentu, ditentukan oleh tiga variable situasi:
1. Hubungan pemimpin-anggota (leader member relations) : hubungan pribadi pemimpin dengan anggota kelompoknya.
2. Struktur tugas (task structure). Derajat struktur dari tugas yang diberikan kepada kelompok untuk dikerjakan.
3. Kekuasan kedudukan( position power). Kekuasaan dan kewewenangan yg terberikan dari kedudukannya.
Ketika ada seorang pemimpin yang baik hubungan anggota, tugas yang sangat terstruktur, dan posisi pemimpin yang tinggi kekuasaan, situasi ini dianggap sebagai "situasi yang menguntungkan." Fiedler menemukan bahwa para pemimpin LPC rendah lebih efektif dalam sangat menguntungkan atau situasi yang tidak menguntungkan, sedangkan para pemimpin LPC tinggi performa terbaik dalam situasi dengan tingkat favourability.
Karena kepribadian relatif stabil, model kontingensi menunjukkan bahwa meningkatkan efektivitas memerlukan mengubah situasi agar sesuai dengan pemimpin. Ini disebut "pekerjaan rekayasa." Organisasi atau pemimpin dapat meningkatkan atau menurunkan posisi tugas struktur dan kekuasaan, juga pelatihan dan pengembangan kelompok dapat meningkatkan hubungan pemimpin-anggota. Dalam buku 1976 Meningkatkan Efektivitas Kepemimpinan: The Leader Match Konsep Fiedler (dengan Martin Chemers dan Linda Mahar) mondar-mandir menawarkan diri program pelatihan kepemimpinan yang dirancang untuk membantu para pemimpin favourableness mengubah situasi, atau situasional kendali.
1. Tugas kepemimpinan berorientasi akan dianjurkan dalam bencana alam, seperti banjir atau api. Dalam situasi yang tidak menentu pemimpin-hubungan anggota biasanya miskin, tugas terstruktur, dan kekuasaan posisi lemah. Orang yang muncul sebagai pemimpin untuk mengarahkan aktivitas kelompok biasanya tidak tahu bawahan secara pribadi. Tugas-pemimpin yang berorientasi pada hal-hal yang dilakukan akan terbukti menjadi yang paling berhasil. Jika pemimpin adalah perhatian (berorientasi pada hubungan), mereka mungkin membuang begitu banyak waktu dalam bencana, bahwa segala sesuatu keluar dari kehidupan DNS dan hilang.
2. Pekerja kerah biru pada umumnya ingin tahu persis apa yang seharusnya mereka lakukan. Oleh karena itu, lingkungan kerja mereka biasanya sangat terstruktur. Posisi pemimpin kekuasaan yang kuat jika punggung manajemen keputusan mereka. Akhirnya, meskipun pemimpin mungkin tidak berorientasi pada hubungan, hubungan pemimpin-anggota mungkin sangat kuat jika mereka dapat memperoleh promosi dan kenaikan gaji untuk bawahan. Dalam situasi ini tugas-gaya kepemimpinan berorientasi lebih disukai di atas (perhatian) gaya berorientasi pada hubungan.
3. perhatian (berorientasi pada hubungan) gaya kepemimpinan dapat tepat dalam lingkungan di mana situasi ini cukup menguntungkan atau tertentu. Sebagai contoh, ketika (1) pemimpin-anggota hubungan yang baik, (2) tugas yang tak terstruktur, dan (3) kekuasaan posisi lemah. Situasi seperti ini ada dengan penelitian para ilmuwan, yang tidak suka atasan untuk struktur tugas bagi mereka. Mereka lebih suka mengikuti mengarah kreatif mereka sendiri untuk memecahkan masalah. Dalam situasi seperti ini mempertimbangkan gaya kepemimpinan adalah lebih disukai daripada berorientasi tugas
4. Para peneliti sering menemukan bahwa teori kontingensi Fiedler yang jatuh pada fleksibilitas pendek.
5. Mereka juga menyadari bahwa nilai LPC dapat gagal untuk mencerminkan ciri-ciri kepribadian yang seharusnya mereka berpikir.
6. Teori kontingensi Fiedler ini telah menarik kritik karena menyiratkan bahwa satu-satunya alternatif untuk ketidaksesuaian dapat diubah orientasi pemimpin dan situasi yang tidak menguntungkan sedang mengubah pemimpin.
7. Validitas model juga telah diperdebatkan, meskipun banyak mendukung tes (Bass 1990).
8. Kritik lain menyangkut metodologi mengukur gaya kepemimpinan melalui LPC inventarisasi dan sifat dari bukti-bukti pendukung . Fiedler dan rekan-rekannya telah menyediakan dekade penelitian untuk mendukung dan memperbaiki teori kontingensi.
Cognitive Resource Theory (CRT) memodifikasi kontingensi Fiedler dasar model dengan menambahkan ciri-ciri dari pemimpin (Fiedler dan Garcia 1987). CRT mencoba untuk mengidentifikasi kondisi di mana para pemimpin dan anggota kelompok akan menggunakan sumber-sumber intelektual mereka, keterampilan, dan pengetahuan secara efektif.Meskipun secara umum telah diasumsikan bahwa lebih cerdas dan pemimpin yang lebih berpengalaman akan berperforma lebih baik dibandingkan dengan mereka yang kurang kecerdasan dan pengalaman, asumsi ini tidak didukung oleh penelitian Fiedler.
Untuk Fiedler, stres adalah penentu utama efektivitas pemimpin (Fiedler dan Garcia 1987; Fiedler et al. 1994), dan sebuah pembedaan dibuat antara stres yang terkait dengan pemimpin atasan, dan stres yang berkaitan dengan bawahan atau situasi itu sendiri. Dalam situasi stres, pemimpin diam di atas stres hubungan dengan orang lain dan tidak dapat fokus kemampuan intelektual mereka dalam pekerjaan. Dengan demikian, intelijen lebih efektif dan lebih sering digunakan dalam situasi bebas stres. Fiedler telah menemukan bahwa pengalaman merusak kinerja dalam kondisi stres rendah tetapi memberikan kontribusi untuk performa di bawah kondisi stres tinggi. Seperti halnya dengan faktor-faktor situasional lain, untuk situasi stres Fiedler merekomendasikan atau teknik mengubah situasi kepemimpinan untuk memanfaatkan kekuatan pemimpin. Walaupun semua kritik, teori kontingensi Fiedler ini merupakan teori penting karena membentuk suatu perspektif baru untuk studi kepemimpinan. Banyak pendekatan setelah teori fiedler telah mengadopsi perspektif kontingensi.
Fred Fiedler's situasional kontingensi teori menyatakan bahwa efektivitas kelompok tergantung pada pertandingan yang tepat antara gaya pemimpin (mengukur suatu sifat dasarnya) dan tuntutan situasi. Fiedler mengendalikan situasi mempertimbangkan sejauh mana seorang pemimpin dapat menentukan apa yang kelompok mereka akan lakukan untuk menjadi faktor kontingensi utama dalam menentukan efektivitas perilaku pemimpin.
Lebih lanjut teori Fiedler berpendapat bahwa kebanyakan situasi akan memiliki tiga aspek yang hirarkis struktur akan peran pemimpin. Aspek pertama atmosfer - kepercayaan, dan kesetiaan kelompok merasa terhadap pemimpin. Variabel kedua adalah ambiguitas atau kejelasan struktur tugas kelompok. Terakhir yang melekat otoritas atau kekuasaan pemimpin memainkan peran penting dalam kinerja kelompok.
Teori Keputusan Normatif, kadang-kadang disebut Teori Permainan, usaha untuk model proses menuju keputusan bisnis yang optimal. Pengambilan keputusan normatif jarang terjadi di dunia nyata, di mana rasionalitas sempurna tidak sesuai dengan perilaku aktual. Pendekatan yang lebih deskriptif tentang bagaimana orang benar-benar membuat keputusan yang dikenal sebagai Analisis Keputusan. Teoretisi studi kerjasama dengan para pemimpin buruh, dan di antara satu sama lain, dan seberapa dekat keputusan akhir berkorelasi dengan normatif atau keputusan yang optimal.
Model kontongensi dari kepemimpinan yg efektif dikembangkan oleh fiedler(1967). Menurut model ini, maka “the performance of the group is contingent upon both the motivational system of the leader and the degree to which the leader has control and influence in a particular situation, the situational favorableness “ (fiedler,1974). Dg kata lain, tinggi rendahnya prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh system motivasi dari pemimpin dan sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi tertentu.
Least pilihan rekan kerja (LPC)
Gaya kepemimpinan pemimpin, dengan demikian, tetap dan diukur dengan apa yang dia sebut paling disukai rekan kerja (LPC) skala, sebuah alat untuk mengukur kepemimpinan individu orientasi. Skala LPC meminta para pemimpin untuk memikirkan semua orang dengan siapa mereka yang pernah bekerja dan kemudian menggambarkan orang dengan siapa mereka telah bekerja paling baik, dengan menggunakan serangkaian bipolar skala 1 sampai 8, seperti berikut:
Ramah 1 2 3 4 5 6 7 8 Ramah
Kooperatif 1 2 3 4 5 6 7 8 Koperasi
Bermusuhan 1 2 3 4 5 6 7 8 Mendukung
.... 1 2 3 4 5 6 7 8 ....
Dijaga 1 2 3 4 5 6 7 8 Membuka
Tanggapan-tanggapan terhadap skala tersebut (biasanya 18-25 total) yang disimpulkan dan rata-rata: skor LPC tinggi menunjukkan bahwa pemimpin memiliki orientasi hubungan antar manusia, sedangkan skor LPC rendah menunjukkan orientasi tugas. Fiedler mengasumsikan bahwa setiap orang yang paling tidak disukai rekan kerja di Kenyataannya adalah rata-rata sekitar sama-sama tidak menyenangkan. Tetapi orang-orang yang memang hubungan termotivasi, cenderung untuk menggambarkan paling tidak disukai rekan kerja mereka dalam cara yang lebih positif, misalnya, lebih menyenangkan dan lebih efisien. Oleh karena itu, mereka menerima nilai LPC tinggi. Tugas orang-orang yang termotivasi, di sisi lain, cenderung untuk menilai paling tidak disukai rekan kerja mereka dalam cara yang lebih negatif. Oleh karena itu, mereka menerima skor LPC rendah. Jadi, rekan kerja yang dipilih yang terkecil (LPC) skala ini sebenarnya tidak tentang pekerja pilihan yang paling tidak sama sekali, sebaliknya, ini adalah tentang orang yang mengambil tes; ini adalah tentang motivasi orang itu tipe. Ini sangat, karena, orang yang paling tidak disukai menilai rekan kerja mereka dalam cahaya yang relatif baik pada skala ini memperoleh kepuasan atas hubungan interpersonal, dan mereka yang menilai rekan kerja dalam waktu yang relatif ringan tidak menguntungkan memperoleh kepuasan keluar dari tugas sukses kinerja. Metode ini mengungkapkan suatu reaksi emosional individu kepada orang-orang mereka tidak dapat bekerja dengan. Pengkritik menunjukkan bahwa hal ini tidak selalu akurat pengukuran efektivitas kepemimpinan.
situasi yang menguntungkan (situational favorableness), yaitu sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi situasi tertentu, ditentukan oleh tiga variable situasi:
1. Hubungan pemimpin-anggota (leader member relations) : hubungan pribadi pemimpin dengan anggota kelompoknya.
2. Struktur tugas (task structure). Derajat struktur dari tugas yang diberikan kepada kelompok untuk dikerjakan.
3. Kekuasan kedudukan( position power). Kekuasaan dan kewewenangan yg terberikan dari kedudukannya.
Ketika ada seorang pemimpin yang baik hubungan anggota, tugas yang sangat terstruktur, dan posisi pemimpin yang tinggi kekuasaan, situasi ini dianggap sebagai "situasi yang menguntungkan." Fiedler menemukan bahwa para pemimpin LPC rendah lebih efektif dalam sangat menguntungkan atau situasi yang tidak menguntungkan, sedangkan para pemimpin LPC tinggi performa terbaik dalam situasi dengan tingkat favourability.
Karena kepribadian relatif stabil, model kontingensi menunjukkan bahwa meningkatkan efektivitas memerlukan mengubah situasi agar sesuai dengan pemimpin. Ini disebut "pekerjaan rekayasa." Organisasi atau pemimpin dapat meningkatkan atau menurunkan posisi tugas struktur dan kekuasaan, juga pelatihan dan pengembangan kelompok dapat meningkatkan hubungan pemimpin-anggota. Dalam buku 1976 Meningkatkan Efektivitas Kepemimpinan: The Leader Match Konsep Fiedler (dengan Martin Chemers dan Linda Mahar) mondar-mandir menawarkan diri program pelatihan kepemimpinan yang dirancang untuk membantu para pemimpin favourableness mengubah situasi, atau situasional kendali.
1. Tugas kepemimpinan berorientasi akan dianjurkan dalam bencana alam, seperti banjir atau api. Dalam situasi yang tidak menentu pemimpin-hubungan anggota biasanya miskin, tugas terstruktur, dan kekuasaan posisi lemah. Orang yang muncul sebagai pemimpin untuk mengarahkan aktivitas kelompok biasanya tidak tahu bawahan secara pribadi. Tugas-pemimpin yang berorientasi pada hal-hal yang dilakukan akan terbukti menjadi yang paling berhasil. Jika pemimpin adalah perhatian (berorientasi pada hubungan), mereka mungkin membuang begitu banyak waktu dalam bencana, bahwa segala sesuatu keluar dari kehidupan DNS dan hilang.
2. Pekerja kerah biru pada umumnya ingin tahu persis apa yang seharusnya mereka lakukan. Oleh karena itu, lingkungan kerja mereka biasanya sangat terstruktur. Posisi pemimpin kekuasaan yang kuat jika punggung manajemen keputusan mereka. Akhirnya, meskipun pemimpin mungkin tidak berorientasi pada hubungan, hubungan pemimpin-anggota mungkin sangat kuat jika mereka dapat memperoleh promosi dan kenaikan gaji untuk bawahan. Dalam situasi ini tugas-gaya kepemimpinan berorientasi lebih disukai di atas (perhatian) gaya berorientasi pada hubungan.
3. perhatian (berorientasi pada hubungan) gaya kepemimpinan dapat tepat dalam lingkungan di mana situasi ini cukup menguntungkan atau tertentu. Sebagai contoh, ketika (1) pemimpin-anggota hubungan yang baik, (2) tugas yang tak terstruktur, dan (3) kekuasaan posisi lemah. Situasi seperti ini ada dengan penelitian para ilmuwan, yang tidak suka atasan untuk struktur tugas bagi mereka. Mereka lebih suka mengikuti mengarah kreatif mereka sendiri untuk memecahkan masalah. Dalam situasi seperti ini mempertimbangkan gaya kepemimpinan adalah lebih disukai daripada berorientasi tugas
4. Para peneliti sering menemukan bahwa teori kontingensi Fiedler yang jatuh pada fleksibilitas pendek.
5. Mereka juga menyadari bahwa nilai LPC dapat gagal untuk mencerminkan ciri-ciri kepribadian yang seharusnya mereka berpikir.
6. Teori kontingensi Fiedler ini telah menarik kritik karena menyiratkan bahwa satu-satunya alternatif untuk ketidaksesuaian dapat diubah orientasi pemimpin dan situasi yang tidak menguntungkan sedang mengubah pemimpin.
7. Validitas model juga telah diperdebatkan, meskipun banyak mendukung tes (Bass 1990).
8. Kritik lain menyangkut metodologi mengukur gaya kepemimpinan melalui LPC inventarisasi dan sifat dari bukti-bukti pendukung . Fiedler dan rekan-rekannya telah menyediakan dekade penelitian untuk mendukung dan memperbaiki teori kontingensi.
Cognitive Resource Theory (CRT) memodifikasi kontingensi Fiedler dasar model dengan menambahkan ciri-ciri dari pemimpin (Fiedler dan Garcia 1987). CRT mencoba untuk mengidentifikasi kondisi di mana para pemimpin dan anggota kelompok akan menggunakan sumber-sumber intelektual mereka, keterampilan, dan pengetahuan secara efektif.Meskipun secara umum telah diasumsikan bahwa lebih cerdas dan pemimpin yang lebih berpengalaman akan berperforma lebih baik dibandingkan dengan mereka yang kurang kecerdasan dan pengalaman, asumsi ini tidak didukung oleh penelitian Fiedler.
Untuk Fiedler, stres adalah penentu utama efektivitas pemimpin (Fiedler dan Garcia 1987; Fiedler et al. 1994), dan sebuah pembedaan dibuat antara stres yang terkait dengan pemimpin atasan, dan stres yang berkaitan dengan bawahan atau situasi itu sendiri. Dalam situasi stres, pemimpin diam di atas stres hubungan dengan orang lain dan tidak dapat fokus kemampuan intelektual mereka dalam pekerjaan. Dengan demikian, intelijen lebih efektif dan lebih sering digunakan dalam situasi bebas stres. Fiedler telah menemukan bahwa pengalaman merusak kinerja dalam kondisi stres rendah tetapi memberikan kontribusi untuk performa di bawah kondisi stres tinggi. Seperti halnya dengan faktor-faktor situasional lain, untuk situasi stres Fiedler merekomendasikan atau teknik mengubah situasi kepemimpinan untuk memanfaatkan kekuatan pemimpin. Walaupun semua kritik, teori kontingensi Fiedler ini merupakan teori penting karena membentuk suatu perspektif baru untuk studi kepemimpinan. Banyak pendekatan setelah teori fiedler telah mengadopsi perspektif kontingensi.
Fred Fiedler's situasional kontingensi teori menyatakan bahwa efektivitas kelompok tergantung pada pertandingan yang tepat antara gaya pemimpin (mengukur suatu sifat dasarnya) dan tuntutan situasi. Fiedler mengendalikan situasi mempertimbangkan sejauh mana seorang pemimpin dapat menentukan apa yang kelompok mereka akan lakukan untuk menjadi faktor kontingensi utama dalam menentukan efektivitas perilaku pemimpin.
Lebih lanjut teori Fiedler berpendapat bahwa kebanyakan situasi akan memiliki tiga aspek yang hirarkis struktur akan peran pemimpin. Aspek pertama atmosfer - kepercayaan, dan kesetiaan kelompok merasa terhadap pemimpin. Variabel kedua adalah ambiguitas atau kejelasan struktur tugas kelompok. Terakhir yang melekat otoritas atau kekuasaan pemimpin memainkan peran penting dalam kinerja kelompok.
Teori Keputusan Normatif, kadang-kadang disebut Teori Permainan, usaha untuk model proses menuju keputusan bisnis yang optimal. Pengambilan keputusan normatif jarang terjadi di dunia nyata, di mana rasionalitas sempurna tidak sesuai dengan perilaku aktual. Pendekatan yang lebih deskriptif tentang bagaimana orang benar-benar membuat keputusan yang dikenal sebagai Analisis Keputusan. Teoretisi studi kerjasama dengan para pemimpin buruh, dan di antara satu sama lain, dan seberapa dekat keputusan akhir berkorelasi dengan normatif atau keputusan yang optimal.
e. PATH GOAL TEORI
Sekarang ini salah satu pendekatan yang paling diyakini adalah teori path-goal adalah suatu model kontijensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi.
Dasar dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan. Istilah path-goal ini datang dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins, 2002).
Menurut teori path-goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang
(1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan
(2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002).
Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).
Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.
Model path-goal menjelaskan bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai hasil yang mereka inginkan. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi.
Secara mendasar, model ini menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh seorang pimpinan untuk mempengaruhi persepsi bawahan tentang pekerjaan dan tujuan pribadi mereka dan juga menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin untuk memotivasi dan memberikan kepuasan kepada bawahannya. Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
1. Fungsi Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
2. Fungsi Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003)
1. Kepemimpinan pengarah (directive leadership)
Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.
2. Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)
Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.
3. Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)
Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan.
4. Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)
Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.
Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.
Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).
1. Karakteristik Bawahan
Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:
2) Letak Kendali (Locus of Control)
Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.
3) Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.
4) Kemampuan (Abilities)
Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.
1. Karakteristik Lingkungan
pada faktor situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:
1) Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
2) Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.
Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:
1) Struktur Tugas
Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
2) Wewenang Formal
Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi
3) Kelompok Kerja
Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.
Sekarang ini salah satu pendekatan yang paling diyakini adalah teori path-goal adalah suatu model kontijensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi.
Dasar dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan. Istilah path-goal ini datang dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins, 2002).
Menurut teori path-goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang
(1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan
(2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002).
Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).
Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.
Model path-goal menjelaskan bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai hasil yang mereka inginkan. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi.
Secara mendasar, model ini menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh seorang pimpinan untuk mempengaruhi persepsi bawahan tentang pekerjaan dan tujuan pribadi mereka dan juga menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin untuk memotivasi dan memberikan kepuasan kepada bawahannya. Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
1. Fungsi Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
2. Fungsi Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003)
1. Kepemimpinan pengarah (directive leadership)
Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.
2. Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)
Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.
3. Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)
Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan.
4. Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)
Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.
Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.
Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).
1. Karakteristik Bawahan
Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:
2) Letak Kendali (Locus of Control)
Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.
3) Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.
4) Kemampuan (Abilities)
Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.
1. Karakteristik Lingkungan
pada faktor situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:
1) Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
2) Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.
Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:
1) Struktur Tugas
Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
2) Wewenang Formal
Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi
3) Kelompok Kerja
Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.
4. Motivasi
Pengertian
Motivasi Menurut Para Ahli – Motivasi berasal dari kata “motif”
yang diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu. Menurut Sardiman 2006:73) motif merupakan daya
penggerak dari dalam untuk melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan.
Menurut Mulyasa (2003:112) motivasi adalah tenaga pendorong atau penarik yang
menyebabkan adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu.
Definisi Motivasi
adalah perubahan energi dalam diri (pribadi)
seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai
tujuan (Hamalik, 1992:173). Dalam Sardiman (2006:73) motivasi adalah perubahan
energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “felling” dan
didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.
DRIVE - REINFORCEMENT THEORY
Dasar pemikiran teori ini adalah bahwa perilaku individual
atau motivasi merupakan suatu fungsi dari konsekuensi dari perilaku tersebut.
perilaku yang diberi penguatan (dikuatkan) cenderung diulang, sedangkan
perilaku yang tidak diberi penguatan cenderung akan ditinggalkan / dilupakan/
hilang/tidak muncul.
Strategi utama atau kontegensi penguatan dengan penguatan
(reinforce) positif : perilaku yang dikehendaki, perilaku positif, keberhasilan
diberi reward (hadiah, penghargaan, pujian dsb) agar perilaku yg dikehendaki
tersebut dipertahankan, diulang atau dengan kata lain ada usaha dari pihak
manajemen untuk meningkatkan kekuatan atau frekuensi perilaku tersebut
(positif, keberhasilan) dengan memberi reward.
Reinforce negatif : berusaha untuk meningkatkan kekuatan
atau frekuensi respon dari perilaku yg dikehendaki dengan menghindarkan adanya
stimulus negatif yang memungkinkan adanya respon yang tidak dikehendaki (
misalnya, seorang karyawan mungkin bekerja lebih keras untuk menghindari
teguran, hukuman dari supervisor)
Punishment
(hukuman): berupa perlakuan tertentu fokusnya bertujuan untuk menghilangkan
perilaku yang tidak dikehendaki
Extingtion
: fokus untuk menurunkan, mengurangi menghilangkan frekuensi munculnya perilaku
yang tidak dikehendaki dengan cara tidak memberikan reward yang seharusnya
diterima apabila melakukan perilaku yang dikehendaki (karyawan tidak menerima
pembagian bonus karena kenerjanya tidak memenuhi standar).
Teori-teori Drive berbeda dalam sumber dari keadaan
terdorong yang memaksa manusia atau binatang bertindak. Beberapa teori,
termasuk teori Freud, dipahami oleh keadaan terdorong sejak belum lahir, atau
instingtif. Tentang perilaku binatang, khususnya ahli ethologi telah
mengusulkan suatu penjelasan suatu mekanisme dorongan sejak kelahiran
(tinbergen, lorenz, dan leyhausen dalam morgan, dkk. 1986).
Teori-teori drive yang lain telah mengembangkan peran
belajar dalamkeaslian keadaan terdorong. Contohnya, dorongan yang di pelajari
(learned drives), seperti mereka sebut, keaslian dalam latihan seseorang atau
binatang atau pengalaman masa lalu dan yang berbeda dari satu individu ke
individu yang lain. Karena penggunaan minuman keras sebelumnya, ketagihan
heroin, contohnya mengembangkan suatu dorongan untuk mendapatkan hal tersebut,
dan karena itu mendorong ke arah itu. Dan dalam realisasi motif sosial, orang
telah belajar dorongan untuk kekuasaan, agresi atau prestasi. Keadaan terdorong
yang dipelajari menjadi ciri abadi dari orag tertentu dan mendorong orang itu
ke arah tujuan yang memadai, orang lain mungkin belajar motif sosial yang lain
dan didorong ke arah tujuan yang berbeda.
Masih menurut Hull, suatu kebutuhan biologis pada makhluk
hidup menghasilkan suatu dorongan (drive) untuk melakukan aktivitas memenuhi
kebutuhan tersebut, sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa makhluk hidup ini
akan melakukan respon berupa reduksi kebutuhan (need reduction response).
Menurut teori Hull, dorongan (motivators of performance) dan reinforcement
bekerja bersama-sama untuk membantu makhluk hidup mendapatkan respon yang
sesuai (Wortman, 2004). Lebih jauh Hull merumuskan teorinya dalam bentuk
persamaan matematis antara drive (energi) dan habit (arah) sebagai penentu dari
behaviour (perilaku) dalam bentuk:
Siegel
dan Lane (1982), mengutip Jablonke dan De Vries tentang bagaimana manajemen
dapat meningkatakan motivasi tenaga kerja., yaitu dengan:
1.
Menentukan apa jawaban yang diinginkan
2.
Mengkomunikasikan dengan jelas perilaku ini kepada tenaga kerja.
3.
Mengkomunikasikan dengan jelas ganjaran apa yang akan diterima. Tenaga kerja
jika jawaban yang benar terjadi
4.
Memberikan ganjaran hanya jika jika jawaban yang benar dilaksanakan.
5.
Memberikan ganjaran kepada jawaban yang diinginkan, yang terdekat dengan
kejadiannya.
TEORI HARAPAN
Teori Harapan menurut Victor Vroom, teori ini beragumen
bahwa kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dengan suatu cara
tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu pengharapan bahwa tindakan itu
akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu dan pada daya tarik dari keluaran
tersebut bagi individu tersebut. Teori pengharapan mengatakan seorang karyawan
dimotivasi untuk menjalankan tingkat upaya yang tinggi bila ia meyakini upaya
akan menghantar kesuatu penilaian kinerja yang baik, suatu penilaian yang baik
akan mendorong ganjaran-ganjaran organisasional, seperti bonus, kenaikan gaji,
atau promosi dan ganjaran itu akan memuaskan tujuan pribadi karyawan tersebut.
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul
“Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “
Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari
yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa
tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila
seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk
memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya
manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan
tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan
hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk
mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman
menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang
diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.
Teori
ini termasuk kedalam teori – teori Kesadaran. Teori ini menunjukkan pendekatan
kognitif terhadap motivasi kerja, yang menekankan kepada kemampuan individu
dalam pemrosesan informasi. Kekuatan motivasi yang mendasarinya bukanlah sebuah
kebutuhan. Pekerja diasumsikan melakukan penilaian rasional terhadap situasi
kerjanya dengan mengumpulkan informasi untuk diolah, kemudian membuat keputusanyang
optimal. Kebutuhan hanya digunakan untuk membantu dalam memahami bagaimana
pekerja membuat pilihan berdasarkan pada keyakinan persepsi dan nilai – nilai
mereka.
Teori
ini diciptakan oleh David Nadler dan Edward Lawler yang didasarkan pada empat
asumsi mengenai perilaku dalam organisasi, yaitu:
1.
Perilaku ditentukan oleh kombinasi antara faktor faktor yang terdapat dalam
diri orang dan faktor-faktor yang terdapat di lingkungan.
2.
Perilaku orang dalam organisasi merupakan tindakan sadar dari seseorang, dengan
kata lain perilaku seseorang adalah hasi dari sebuah keputusan yang sudah
diperhitungkanoleh orang tersebut.
3.
Orang mempunyai kebutuhan, keinginan dan tujuan yang berbeda.
4.
Orang memilih satu dari beberapa alternatif perilaku berdasarkan besarnya
harapan memperoleh hasil dari sebuah perilaku.
TEORI
TUJUAN
Locke mengusulkan model kognitif, yang dinamakan teori
tujuan, yang mencoba menjelaskan hubungan-hubungan antara niat/intentions (tujuan-tujuan)
dengan perilaku.
Teori ini secara relatif lempang dan sederhana. Aturan
dasarnya ialah penetapan dari tujuan-tujuan secara sadar. Menurut Locke,
tujuan-tujuan yang cukup sulit, khusus dan yang pernyataannya jelas dan dapat
diterima oleh tenaga kerja, akan menghasilkan unjuk-kerja yang lebih tinggi
daripada tujuan-tujuan yang taksa, tidak khusus, dan yang mudah dicapai. Teori
tujuan, sebagaimana dengan teori keadilan didasarkan pada intuitif yang solid.
Penelitian-penelitian yang didasarkan pada teori ini menggambarkan kemanfaatannya
bagi organisasi.
Manajemen Berdasarkan Sasaran (Management By
Objectives =MBO) menggunakan teori penetapan tujuan ini. Berdasarkan
tujuan-tujuan perusahaan, secara berurutan, disusun tujuan-tujuan untuk divisi,
bagian sampai satuan kerja yang terkecil untuk diakhiri penetapan sasaran kerja
untuk setiap karyawan dalam kurun waktu tertentu.
Penetapan tujuan juga dapat ditemukan dalam teori
motivasi harapan. Individu menetapkan sasaran pribadi yang ingin dicapai.
Sasaran-sasaran pribadi memiliki nilai kepentingan pribadi (valence)
yang berbeda-beda.
Proses penetapan tujuan (goal setting) dapat
dilakukan berdasarkan prakarsa sendiri, dapat seperti MBO, diwajibkan oleh
organisasi sebagai satu kebijakan peusahaan. Bila didasarkan oleh prakarsa
sendiri dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja individu bercorak proaktif dan
ia akan memiliki keterikatan (commitment) besar untuk berusaha mencapai
tujuan-tujuan yang telah ia tetapkan. Bila seorang tenaga kerja memiliki
motivasi kerja yang lebih bercorak reaktif, pada saat ia diberi tugas untuk
menetapkan sasaran-sasaran kerjanya untuk kurun waktu tertentu dapat terjadi
bahwa keterikatan terhadap usaha mencapai tujuan tersebut tidak terlalu besar.
Teori penetapan tujuan (goal
setting theory)
Edwin Locke mengemukakan bahwa
dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni : (a)
tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya; (c)
tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang
strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Bagan berikut ini menyajikan
tentang model instruktif tentang penetapan tujuan
Locke mengusulkan model
kognitif, yang dinamakan teori tujuan yang mencoba menjelaskan hubungan niat
(intentions)/ tujuan dengan perilaku, dengan penetapan dari tujuan secara
sadar. Proses penetapan tujuan dapat dilakukan berdasarkan prakarsa sendiri, bila
didasarkan oleh prakarasa sendiri dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja
individu bercorak proaktif dan ia akan berusaha mencapaitujuan-tujuan yang
telah di tetapkan. Bila seseorang tenaga kerja yang lebih bercorak reaktif maka
ia menetapakan sasaran kerjanya untuk kurun waktu tertentu, dapat terjadi bahwa
keikatan usaha mencapai tujuan tersebut tidak selalu besar.
Maslow’s Need Hierarchy Theory:
1. Teori ini memberikan
informasi bahwa kebutuhan manusia itu jamak (material dan nonmaterial) dan
bobotnya bertingkat-tingkat pula.
2. Manajer mengetahui bahwa
seseorang berperilaku atau bekerja adalah untuk dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan (material dan nonmaterial) yang akan memberikan kepuasaan baginya.
3. Kebutuhan manusia itu
berjenjang sesuai dengan kedudukan atau sosial ekonominya. Seseorang yang
berkedudukan rendah (sosial ekonomi lemah) cenderung dimotivasi oleh material,
sedang orang yang berkedudukan tinggi cenderung dimotivasi oleh nonmaterial.
4. Manajer akan lebih mudah
memberikan alat motivasi yang paling sesuai untuk merangsang semangat bekerja
bawahannya.
Teori hierarkhi kebutuhan
Maslow menyiratkan manusia bekerja dimotivasi oleh kebutuhan yang sesuai dengan
waktu, keadaan serta pengalamannya. Tenaga kerja termotivasi oleh kebutuhan
yang belum terpenuhi dimana tingkat kebutuhan yang lebih tinggi muncul setelah
tingkatan sebelumnya. Masing-masing tingkatan kebutuhan tersebut, tidak lain :
kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial, penghargaan, perwujudan diri. Dari
fisiologis bergerak ke tingkat kebutuhan tertinggi, yaitu, perwujudan diri
secara bertahap. Terlepas menerima atau tidak kebutuhan berhierarkhi,
mengetahui jenis-jenisnya adalah memberikan kontribusi silang saling memenuhi.
Seperti seseorang berusaha keras mencari pekerjaan yang tidak lain
mengimplementasikan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan fisiologis.
Secara umum diketahui Frederick
Herbertg berteori dua situasi yang mempengaruhi tenaga kerja saat bekerja.
Situasi pertama, yaitu, pemuasan yang berarti sumber kepuasan kerja
seperti:prestasi, pengukuhan hasil kerja, daya tarik pekerjaan, dan tanggung
jawab serta kemajuan. Situasi kedua tidak lain ketidak puasan yang bersumber
dari: kebijakan, supervisi, uang, status, rasa aman, hubungan antar manusia,
dan kondisi kerja. Dalam hal ini, jika situasi pertama tidak ada tidak
menimbulkan ketidak puasan berlebihan. Karena ketidakpuasan muncul dari tidak
memperhatikan situasi kedua. Perhatian terhadap indikator situasi pertama
menjadi motivasi tenaga kerja dalam bekerja. Tampak berbasis teori ini jika
ingin tenaga kerja termotivasi maka mesti memberikan situasi pertama.
Menurut Bernard Berelson dan
Gary A. Steiner dalam Machrony mendefiniskan motivasi sebagai keadaan kejiwaan
dan sikap mental manusia yang memberikan energi, mendorong kegiatan (moves) dan
mengarah atau menyalurkan perilaku ke arah mencapai kebutuhan yang memberi
kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan.
Motivasi dapat dirumuskan
sebagai berikut.
1.
Setiap perasaan atau kehendak
dan keinginan yang sangat mempengaruhi kemauan individu sehingga individu
tersebut didorong untuk berperilaku dan bertindak.
2.
Pengaruh kekuatan yang
menimbulkan perilaku individu.
3.
Setiap tindakan atau kejadian
yang menyebabkan berubahnya perilaku seseorang.
4.
Proses dalam yang menentukan
gerakan atau perilaku individu kepada tujuan (goal).
Setiap individu memiliki
beragam kebutuhan. Seluruh kebutuhan tersebut berkompetisi untuk melahirkan
perilakunya. Kebutuhan paling kuatlah yang akan memimpin perilaku individu.
Suatu kebutuhan akan berkurang kekuatannya apabila kebutuhan tersebut sudah
dipuaskan. Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard mengemukakan bahwa berkurangnya
kekuatan suatu kebutuhan disebabkan hal-hal berikut.
1.
Pemuasan Kebutuhan
2.
Pemblokiran pemuasan kebutuhan
3.
Ketegangan kognitif
4.
Frustrasi
5.
Rasionalisasi
6.
Regresi
7.
Fiksasi
8.
Resignasi
Bentuk motivasi:
1.
Kompensasi bentuk uang
2.
Pengarahan dan pengendalian
3.
Penetapan pola kerja yang
efektif
Kebajikan
Daftar Pustaka:
Sarwono, S.W. 2005. Psikologi Sosial. Jakarta:
Balai Pustaka
Sunyoto Munandar, Ashar.(2001).Psikologi Industri
dan Organisasi.Jakarta: Universitas Indonesia.
P.Siagian, Sondang, Prof. Dr. MPA.(1988). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta : Rineka Citra.
P.Siagian, Sondang, Prof. Dr. MPA.(1988). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta : Rineka Citra.
Edgar, H Schein. 1991,
Psikologi Organisasi, Jakarta. Pustaka Binaman Pressindo
Vroom, VH dan Yetton, PW
(1973). Kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Pittsburg: University of
Pittsburg
http://www.shvoong.com/business-management/human-resource-managementdouglas-theory-management/
http://blog.uny.ac.id/iisprasetyo/teori-path-goal-dalam-kepemimpinan/
http://blog.uny.ac.id/iisprasetyo/teori-path-goal-dalam-kepemimpinan/
http://organisasi.org/definisi-pengertian-teori-perilaku-teori-x-dan-teori-y-x-y-behavior-theory-douglas-mcgregor
Nama : Syifa Rahmajuwita
Npm : 12509855